Dua Pasang Hati
A
A
A
”Tapi sayang banget nih Mbak Lara,” kata perawat itu lagi, setengah berbisik padanya. ”Jangan bilang-bilang ya, Dokter Keenan itu belum nikah kabarnya, karena dia nggak bisa move ondari mantannya, yang namanya Feli.”
Jantung Lara hampir saja keluar, ketika nama mengerikan itu disebut dengan lancar dari mulut lancang perawat ini. Nama yang begitu menyakitkan baginya, membuatnya hampir saja kehilangan kepercayaan pada cinta. Feli, kalaupun ada kesempatan ketika Feli memohon maaf padanya. Sungguh, ia tidak akan pernah memaafkan cewek itu. Musuh dalam selimut banget sih dia, cantik-cantik, baik-baik tau-tau ngerebut Keenan dari Lara.
That bitch ! Jika benar apa yang dikatakan perawat cantik itu mengenai Keenan yang belum bisa melupakan masa lalunya itu, berarti... hampir sama dong sama dirinya sendiri , suara hati jahanam itu menguasai otaknya. Lara cepat-cepat menenangkan pikirannya. Tapi ngomongngomong, apa sih yang dilakukan Feli sampe-sampe Keenan seolah tersihir oleh wajah cantiknya?
Ia ingat betul sembilan tahun lalu, Lara memang mengenalkan Feli pada cowok itu, lantaran ia ingin sahabat kecilnya itu mengetahui siapa lakilaki yang sudah berhasil menambatkan hatinya. Harus diakuinya, pertemuan Feli dan Keenan memang terkesan aneh. Siapa sih yang nggak tahu, kalo Keenan itu pelit senyum? Pada saat ia menjabat tangan Feli, Lara bisa melihat jelas ada sebuah senyum manis yang tersungging di lengkung bibirnya.
Feli pun membalas jabatan hangat Keenan dengan senyuman yang merekah di bibir manis cewek itu. Sungguh, Lara baru sadar sekarang, sepertinya Keenan memang lebih suka Feli dibanding dirinya sejak pertama mereka bertemu. Lara menekan dadanya yang tiba-tiba merasa pilu, kenapa rasa sakit itu timbul lagi setelah sekian lama dia nggak merasakannya? Lara bungkam beberapa saat, batinnya terenyak setelah menyadari hal itu sekian lama.
Memang harus diakui Lara, Feli sahabat kecil sekalian monster bagi hidup Lara itu, punya segudang hal-hal menarik dibanding dirinya. Pertama, Feli ialah salah satu murid berprestasi di sekolahnya, namanya begitu terkenal hingga luar sekolah. Walaupun mereka berbeda sekolah, banyak teman SMA Lara yang mengenalnya. Kedua, tutur kata Feli sangatlah lembut dan teratur.
Dia begitu anggun, tak seperti dirinya yang selalu berteriakteriak kayak preman pasar. Terlebih lagi, Feli memang berasal dari keluarga berada, dan berpendidikan baik, setara dengan keluarga Keenan, yang sebagian besar berprofesi dokter. Nggak cuma itu, mungkin inilah yang menjadikan Feli menang dari segala poin yang disebutkan tadi, yaitu memasak.
Hampir tiga tahun bersahabat dengan gadis cantik itu, tak jarang Lara diundang main ke rumahnya, cuma untuk mencicipi kue-kue manis buatan tangan dingin Feli, selain itu dia juga sangat pandai memasak, apa saja. Apalagi chinese food , karena dia berdarah Tionghoa. Dan semuanya itu sukses menambah berat badan Lara beberapa kilo. Bener deh, dulu kalo main ke rumah Feli, isinya makan, curhat dan makan lagi, nggak berhenti.
Tanpa sadar, air mata Lara sedikit terjatuh mengingat semua kenangan buruk selama ia SMA. Kenangan yang membangkitkan getar luka yang sudah disimpannya rapat-rapat. Feli... mungkin perkiraan Echa salah, kalau tidak ada Feli dia dan Keenan mungkin sudah jadian. Bukan , dari pertama pertemuan mereka, cowok itu sudah jatuh cinta padanya.
Lara menghela nafas, merasakan adanya air mata yang terjatuh di pipinya. ”Lara? Wah, selamat ya lo udah sembuh,” ucap seorang cowok. Ardio, kekasih sobatnya itu menyambangi Lara yang sedang duduk di bangku administrasi. ”Thanks , Di. Sori ya, jadi pada repotin kalian beberapa hari yang lalu,” balas Lara.
Cowok itu tersenyum pada Lara. ”Nggak apa-apa, namanya juga temen. Eh, tapi lo lain kali hati-hati dong, Ra. Jangan sampe kejadian kayak kemaren lagi, bikin takut aja.” Lara mengernyitkan dahinya, kok Ardio belakangan ini perhatian banget sih? Kenapa nih anak, ya? Lara berpikir.
Jangan aja hubungan Ardio- Echa jadi merenggang gara-gara dirinya. ”Ng... iya, Di. Gue juga nggak tau kenapa, kalo gue ada di tempat gelap, biasanya sering gitu. Dari kecil.” (bersambung)
Vania M. Bernadette
Jantung Lara hampir saja keluar, ketika nama mengerikan itu disebut dengan lancar dari mulut lancang perawat ini. Nama yang begitu menyakitkan baginya, membuatnya hampir saja kehilangan kepercayaan pada cinta. Feli, kalaupun ada kesempatan ketika Feli memohon maaf padanya. Sungguh, ia tidak akan pernah memaafkan cewek itu. Musuh dalam selimut banget sih dia, cantik-cantik, baik-baik tau-tau ngerebut Keenan dari Lara.
That bitch ! Jika benar apa yang dikatakan perawat cantik itu mengenai Keenan yang belum bisa melupakan masa lalunya itu, berarti... hampir sama dong sama dirinya sendiri , suara hati jahanam itu menguasai otaknya. Lara cepat-cepat menenangkan pikirannya. Tapi ngomongngomong, apa sih yang dilakukan Feli sampe-sampe Keenan seolah tersihir oleh wajah cantiknya?
Ia ingat betul sembilan tahun lalu, Lara memang mengenalkan Feli pada cowok itu, lantaran ia ingin sahabat kecilnya itu mengetahui siapa lakilaki yang sudah berhasil menambatkan hatinya. Harus diakuinya, pertemuan Feli dan Keenan memang terkesan aneh. Siapa sih yang nggak tahu, kalo Keenan itu pelit senyum? Pada saat ia menjabat tangan Feli, Lara bisa melihat jelas ada sebuah senyum manis yang tersungging di lengkung bibirnya.
Feli pun membalas jabatan hangat Keenan dengan senyuman yang merekah di bibir manis cewek itu. Sungguh, Lara baru sadar sekarang, sepertinya Keenan memang lebih suka Feli dibanding dirinya sejak pertama mereka bertemu. Lara menekan dadanya yang tiba-tiba merasa pilu, kenapa rasa sakit itu timbul lagi setelah sekian lama dia nggak merasakannya? Lara bungkam beberapa saat, batinnya terenyak setelah menyadari hal itu sekian lama.
Memang harus diakui Lara, Feli sahabat kecil sekalian monster bagi hidup Lara itu, punya segudang hal-hal menarik dibanding dirinya. Pertama, Feli ialah salah satu murid berprestasi di sekolahnya, namanya begitu terkenal hingga luar sekolah. Walaupun mereka berbeda sekolah, banyak teman SMA Lara yang mengenalnya. Kedua, tutur kata Feli sangatlah lembut dan teratur.
Dia begitu anggun, tak seperti dirinya yang selalu berteriakteriak kayak preman pasar. Terlebih lagi, Feli memang berasal dari keluarga berada, dan berpendidikan baik, setara dengan keluarga Keenan, yang sebagian besar berprofesi dokter. Nggak cuma itu, mungkin inilah yang menjadikan Feli menang dari segala poin yang disebutkan tadi, yaitu memasak.
Hampir tiga tahun bersahabat dengan gadis cantik itu, tak jarang Lara diundang main ke rumahnya, cuma untuk mencicipi kue-kue manis buatan tangan dingin Feli, selain itu dia juga sangat pandai memasak, apa saja. Apalagi chinese food , karena dia berdarah Tionghoa. Dan semuanya itu sukses menambah berat badan Lara beberapa kilo. Bener deh, dulu kalo main ke rumah Feli, isinya makan, curhat dan makan lagi, nggak berhenti.
Tanpa sadar, air mata Lara sedikit terjatuh mengingat semua kenangan buruk selama ia SMA. Kenangan yang membangkitkan getar luka yang sudah disimpannya rapat-rapat. Feli... mungkin perkiraan Echa salah, kalau tidak ada Feli dia dan Keenan mungkin sudah jadian. Bukan , dari pertama pertemuan mereka, cowok itu sudah jatuh cinta padanya.
Lara menghela nafas, merasakan adanya air mata yang terjatuh di pipinya. ”Lara? Wah, selamat ya lo udah sembuh,” ucap seorang cowok. Ardio, kekasih sobatnya itu menyambangi Lara yang sedang duduk di bangku administrasi. ”Thanks , Di. Sori ya, jadi pada repotin kalian beberapa hari yang lalu,” balas Lara.
Cowok itu tersenyum pada Lara. ”Nggak apa-apa, namanya juga temen. Eh, tapi lo lain kali hati-hati dong, Ra. Jangan sampe kejadian kayak kemaren lagi, bikin takut aja.” Lara mengernyitkan dahinya, kok Ardio belakangan ini perhatian banget sih? Kenapa nih anak, ya? Lara berpikir.
Jangan aja hubungan Ardio- Echa jadi merenggang gara-gara dirinya. ”Ng... iya, Di. Gue juga nggak tau kenapa, kalo gue ada di tempat gelap, biasanya sering gitu. Dari kecil.” (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)